Mendidik Anak Agar Anak Mudah Bergaul

SEPINTAS lalu, sosialisasi tidak menjadi masalah bagi anak-anak. Secara alamiah mereka akan berinteraksi, mencari teman, dan bergaul. Kendati demikian, pada banyak kesempatan, kita sering menemukan anak yang sulit ngobrol dan bermain dengan sebayanya. Ketika mengalami hal ini, sebagai orang tua wajar merasa khawatir . Lalu bagaimana agar anak mudah bersosialisasi dan bergaul dengan sesamanya?

Ciptakan keterbukaan

Ajaklah anak mengenal banyak hal di keluarga. Biarkanlah mereka bertanya segala sesuatu yang ingin diketahuinya. Pun sebaliknya, sempatkanlah ngobrol dengan anak tentang aktivitasnya sendiri.

Sediakan ruang ekspresi

Mencoret, bernyanyi, bahkan sekadar berteriak merupakan ekspresi bagi anak. Perkembangan populasi dan peradaban manusia membuat ruang kosong semakin terbatas. Banyak rumah bahkan sekolah tidak memiliki halaman sehingga aktivitas anak lebih banyak terkonsentrasi dalam ruangan.

Sebagai orang tua, kita hendaknya pandai menyiasati keterbatasan. Kita perlu menyediakan fasilitas untuk berekspresi. Tidak harus muluk, bermain dan bernyanyi bersama saja sangat berharga bagi perkembangan sosial mereka. Lebih jauh, orang tua dapat mengikutkan anak kegiatan nonakademik sesuai minat.

Bangun kesetaraan

Sebagai orang tua kita sering tanpa sadar menciptakan kesenjangan di antara anak-anak. Kondisi ini memberi pengaruh atas perkembangan karakter mereka.

Agar tidak menjadi demikian, orang tua perlu mencermati peran dan perkembangan tiap anak. Berlaku sama atas semua hal merupakan tindakan yang mungkin mustahil mengingat usia dan perkembangan yang berbeda.Hal yang dapat diperbuat adalah memberi pemahaman atas kriteria tertentu.

Misalnya dalam pembagian kerja, kesetaraan dapat berwujud pemberian tanggung jawab sesuai perkembangannya. Lebih dari itu, juga tanamkan kebiasaan tolong-menolong di antara anak. Jika ada anak yang belum selesai dengan tugasnya, anak lain yang telah selesai siap membantu, demikian pula sebaliknya.

Ajarkan berbagi

Tiap orang tua punya definisi sendiri atas kata sayang. Oleh karena perbedaan itu, ekspresi rasa sayang pun beragam. Bahkan, ada orang tua yang menunjukkan rasa sayangnya dengan menciptakan eksklusivitas. Orang lain tidak diperkenankan mengakses milik anak.

Hal yang perlu disadari, keegoisan seseorang itu dibangun sejak anak. Karakter dibentuk sejak kecil, bahkan sejak sebelum mereka mengetahui benar-salah dan baik-buruk. Oleh karena itu, mengajarkan anak berbagi sejak dini merupakan proses pembangunan karakter . Menciptakan eksklusivitas dapat menyebabkan anak menjadi sulit berbagi.

Batasi gawai elektronik

Pergaulan berangkat dari kebutuhan. Secara alamiah anak-anak akan bergaul. Penggunaan gawai elektronik bernama televisi dan gadget secara berlebihan dipandang bisa menciptakan suasana, di mana anak merasa tidak membutuhkan hal lain. Dia asyik dengan peralatannya sehingga enggan bersosialisasi. Hal ini, jika berlangsung dalam waktu lama, akan berdampak buruk bagi anak.

Perbanyak aktivitas fisik

Interaksi anak dengan sesamanya niscaya melibatkan aktivitas fisik. Mustahil anak ngobrol berjam-jam layaknya orang dewasa.

Obrolan anak akan diselingi aktivitas kejar-kejaran, hingga main ini dan itu. Agar dapat beraktivitas fisik, tubuh anak harus sehat.

Mens sana in corpore sano, ungkapan penyair Romawi Juvenal, yang telah menjadi semboyan olahraga di seluruh dunia menunjukkan adanya hubungan kental antara fisik dengan mental. Hal ini menunjukkan bahwa keceriaan, semangat, dan keaktifan anak sangat didukung oleh pemeliharaan kesehatan fisik.

Ajarkan etika bergaul

Meski mendorong anak bergaul, bukan berarti membiarkannya lepas kendali. Orang tua perlu mengedukasi anak perihal hak dan kewajiban, tentang waktu, tanggung jawab, sehingga mereka tahu cara mengakses milik orang lain. Anak juga tahu kapan harus mengakhiri permainan dan pulang ke rumah.

Etika tersebut sebaiknya disampaikan secara alamiah dan situasional.

Jangan terlalu protektif

Beberapa waktu silam, administrator Facebook Yayasan Ar Raihan memposting tulisan yang isinya membandingkan perlakuan orang tua terhadap perhiasan dan anak sendiri. Sebagian orang tua tidak pernah merelakan perhiasannya dititipkan kepada semua orang, kepada asisten rumah tangga misalnya. Seringkali, orang tua lebih mudah menitipkan anaknya sendiri yang konon paling disayang.

Refleksi dari cerita tersebut adalah bahwa anak tidak sama dengan perhiasan. Jika perhiasan harus disimpan di lemari besi, anak sebaliknya. Mereka hendaknya dibiarkan bergaul, dibiarkan mengenal manis, asin, bahkan pahitnya
kehidupan. Hal itu ditujukan agar pada saatnya kelak mereka mandiri dan siap menghadapi berbagai tantangan. []

Siska Yuniati
Penulis adalah ibu dengan empat anak, blogger, editor, dan guru MTs Negeri Giriloyo. Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di majalah Pelangi edisi 9, Desember 2015, halaman 14-15.