Mengenalkan Profesi Sejak Dini

NAMA Hanan al-Hroub tiba-tiba menghebohkan dunia Maret lalu setelah disebut sebagai pemenang Global Teacher Prize 2016 oleh Paus Fransiskus. Guru asal Palestina itu berhasil mengungguli guru-guru hebat lain asal Australia, Finlandia, India, Jepang, Kenya, Pakistan, Inggris, dan Amerika Serikat. Tiket kemenangan al-Hroub disinyalir didongkrak oleh kontribusinya dalam bidang inovasi pembelajaran, kondisi perang yang dihadapinya, serta fokus pendidikan karakter yang dilakukannya.

Bicara tentang perjuangan pendidik, Indonesia sendiri sesungguhnya memiliki model yang sudah dikenal secara internasional, namanya Butet Manurung. Dia berjuang mendidik anak-anak Suku Kubu yang berada di pedalaman Jambi. Saat ini, metode pendidikan alternatif yang digunakan oleh lulusan Universitas Padjadjaran dan Australian National University itu telah diterapkan setidaknya di sepuluh daerah di Indoensia.

Sama seperti Hanan al-Hroub, Butet pun mendapatkan penghargaan bergengsi, yakni The Man and Biosphere Award dari LIPI-Unseco. Selain itu, majalah Time menghadiahnya penghargaan Heroes of Asia Award 2004.

Dua perempuan tersebut sekadar contoh, sebuah profesi yang digeluti dengan sepenuh hati dapat mengantarkan seseorang ke puncak prestasi. Selain kedua tokoh itu, tentulah masih banyak tokoh lain yang berjuang dan berhasil di bidangnya masing-masing.

Bagaimana Mereka Berhasil?

Menjadi guru di negeri perang dan menjadi guru di hutan rimba bukanlah perkara mudah. Tanpa adanya rasa cinta dan komitmen yang kuat, Hanan al-Hroub dan Butet Manurung tidak bisa seperti sekarang. Butet misalnya, liku dan jalan terjal yang harus dilalui oleh Butet Manurung dapat kita cermati dalam catatannya yang diterbitkan dengan judul Sokola Rimba.

Awal keterlibatan pemilik nama asli Saur Marlina Manurung itu ternyata berasal dari sebuah iklan lowongan fasilitator pendidikan alternatif bagi suku asli Orang Rimba, Jambi. Sebuah hikmah yang dapat ditarik dari peristiwa ini adalah kenyataan bahwa Butet menjadi guru ternyata bukanlah didasarkan atas cita-cita. Nasiblah yang mengantarkan sarjana antropologi ini ke pedalaman Sumatra. Hal demikian juga terjadi dengan Hanan al-Hroub. Keadaan dan rasa ingin berbaktilah yang menjadikannya seorang guru, bukan cita-cita.

Nasib baik Hanan al-Hroub dan Butet Manurung mungkin sama dengan nasib baik Bill Gates dan Mark Zuckerberg. Kendati dikenal sebagai pendiri perusahaan teknologi bernama Microsoft, Bill Gates ternyata kuliah di jurusan hukum di Universitas Harvard, sementara itu Mark Zuckerberg ternyata kuliah di jurusan psikologi di universitas yang sama.

Kendati keempatnya dapat dikatakan sebagai contoh sukses, perjalanan karier mereka tidaklah serta-merta dapat diteladankan. Bill Gates, misalnya, dia telah menulis kode program sejak usia 13 tahun, namun ketika kuliah dirinya justru memilih jurasan hukum. Dapat ditebak, oleh karena bukan minat utamanya, Bill Gates kemudian drop out dari kampusnya.

Contoh sukses yang dapat diteladankan karena merencanakan karier dengan baik mungkin Larry Page, pendiri Google. Page sekolah hingga program doktor dalam bidang komputer. Konsistensi ini dilanjutkan Page dengan bekerja dalam bidang komputer.

Karier Larry Page membuktikan sebuah riset tentang cita-cita yang pernah dilakukan di Universitas Harvard. Sebuah penelitian yang mengambil subjek lulusan Sekolah Bisnis Universitas Harvard menunjukkan kelompok yang paling berhasil kariernya adalah kelompok yang mempunyai tujuan, merencanakannya, serta mencatat tujuan dan rencananya tersebut. berada di urutan di bawahnya adalah kelompok yang memiliki tujuan, tetapi tidak menuliskan tujuannya tersebut. Kelompk ketiga yang presentasinya tertinggi dan kurang berhasil adalah kelompok yang sekadar mengikuti alur kehidupan, seperti air mengalir.

Perihal Cita-Cita dan Karier

Jika cita-cita dan karier itu berkorelasi, sebagai orang tua apalagi anak, kita tentu harus menanggapinya dengan serius. Lalu, pertanyaannya kemudian, cita-cita apa yang harus kita bidik?

Sebuah studi beberapa tahun belakangan ini menyimpulkan bahwa lulusan sekolah seni ternyata banyak dicari di dunia kerja. Nah, khusus 2015 lalu, ternyata tren beralih ke jurusan matematika. Data  CareerCast menunjukkan bahwa sosok yang banyak dicari tahun 2015 adalah ahli matematika, ahli statistika, insinyur biomedika, ilmuan data, ahli kebersihan gigi, insinyur perangkat lunak, dan analis komputer. Ketujuh pekerjaan tersebut rata-rata menghasilkan gaji miliaran rupiah.

Jika kita sesuaikan dengan kondisi saat ini, hasil studi tersebut memang pantasi untuk dijadikan catatan. Ilmuan data, insinyur perangkat lunak, dan analis komputer misalnya, keahlian mereka memang sangat diperlukan saat ini. Kita tahu pelajar yang didominasi oleh generasi Y dan Z sudah sangat akrab dengan gawai. Bahkan, sudah dianggap wajar jika masing-masing mereka memilikinya secara pribadi.

Keberadaan gawai, data browsing, serta kebiasaan lain pemegang gawai bahkan telah menjadi data penting untuk bahan riset pemasaran. Bukan hal aneh, setelah beberapa saat kita berselancar menggunakan browser, iklan-iklan di situs yang kita bukan secara tiba-tiba menampilkan produk yang sesuai dengan yang kita ketikkan di mesin pencari.

Hal tersebut menunjukkan betapa strategisnya posisi ilmuan data. Bahkan, tanpa perlu menggunakan satelit khusus, Google akan tahu dan dapat menginformasikan kepadatan lalu lintas sebuah jalan. Dari mana informasinya? Di antaranya dari gawai yang kita bawa. Ilmuan data Google tentu memiliki catatan khusus tentang keberadaan sebuah gawai, ke mana saja dia dibawa, jalan apa saja yang dilalui. Jumlah gawai yang dibawa melewati sebuah jalan, sedikit-banyak sudah menginformasikan kepadatan lalu lintas ruas jalan terkait.

Perlu dicatat juga, selain pekerjaan-pekerjaan menjanjikan terebut, ada pula pekerjaan yang bisa jadi akan punah. Sebut saja pekerjaan juru ketik, kasir, agen perjalanan, serta pengantar surat, yang mungkin akan semakin tidak dibutuhkan lagi karena tergusur peran teknologi.

Bagaimana Mengarahkan Anak?

Sebuah cita-cita sejatinya berbasis potensi dan peluang. Menjadi hal mendesak untuk mengetahui potensi anak sejak dini. Potensi yang dipadukan dengan peluang itulah yang dapat dijadikan sebagai cita-cita.

Sebelum sampai kepada hal tersebut, poin pertama yang sejatinya dipahami adalah jenis profesi. Di tengah lalu-lintas informasi yang hampir tak berfilter saat ini, menemukan data tentang jenis-jenis pekerjaan bukanlah sesuatu yang sulit. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita sekali-sekali melakukan pencarian atas jenis profesi yang sedang berkembang saat ini.

Riset LinkedIn menunjukkan jabatan cloud and distributed computing menempati urutan pertama. Berada pada urutan kedua dan ketiga adalah statistical analysis and data mining dan marketing campaign management. Apakah Anda mengenali pekerjaan-pekerjaan tersebut? Jika tidak, tentu hal ini menjadi catatan khusus. Bagaimana bisa kita mengarahkan anak-anak berkarier dalam bidang teknologi jika kita tidak mengenali jenis-jenis pekerjaannya?

Ilustrasi tim yang sedang bekerja dengan teknologi.
Foto: rankonlineaccountingdegrees.com
Sepuluh pekerjaan bidang IT yang paling diminati tahun 2015 berdasarkan riset LinkedIn. Apakah Anda mengenalinya?
  1. Cloud and Distributed Computing
  2. Statistical Analysis and Data Mining
  3. Marketing Campaign Management
  4. SEO/SEM Marketing
  5. Middleware and Integration Software
  6. Mobile Development
  7. Network and Information Security
  8. Storage System and Management
  9. Web Architecture and Development Frameworks
  10. User Interface Design
Poin kedua adalah mengenali potensi dan minat anak. Potensi dan minat sejatinya seiring sejalan. Potensi tanpa minat akan menghasilkan tingkat stres yang tinggi. Sebaliknya, minat tanpa potensi akan menjadikan anak terpontang-panting mengikut perkembangan sebuah bidang.

Poin ketiga adalah peluang. Ketika anak-anak memiliki ketertarikan dan potensi dalam bidang teknologi, misalnya, sebagai orang tua kita perlu melihatnya secara luas. Dalam lingkup minat dan potensi tersebut ada banyak jenis pekerjaan yang dapat dibidik. Tugas orang tua berikutnya adalah menghitung peluang, apakah anak akan condong ke bagian-bagian yang menjadi minat banyak orang seperti data LinkedIn, atau memilih pekerjaan yang lebih umum, misalnya guru atau dosen dalam bidang teknologi informasi.

Poin terakhir, menerapkan hasil riset Harvard yang telah disebutkan sebelumnya, yakni membuat tujuan, membuat rencana, dan mencatat. Ajaklah anak untuk berdiskusi tentang karier yang menjadi cita-citanya, mengapa dia memilihnya dan apa yang dapat dilakukannya jika berhasil.
Setelah itu, ajak anak merancang langkah-langkah yang harus ditempu untuk menggapai cita-citanya termasuk alternatif yang dapat dipilih. Terakhir, orang tua dapat menyediakan buku khusus untuk mencatat rencana-rencana anak, bisa pula dengan menuliskannya di dinding kamar, meja belajar, atau tempat-tempat strategis lain. []

Sabjan Badio
Pemimpin Redaksi Majalah Pelangi
Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di Majalah Pelangi edisi 11.